" Dekonstruksi Yuridis dan Transformasi Paradigma Hukum Pidana: Analisis Filosofis, Sosiologis, dan Kontradiksi Implementasi KUHP Nasional

Dekonstruksi Yuridis dan Transformasi Paradigma Hukum Pidana: Analisis Filosofis, Sosiologis, dan Kontradiksi Implementasi KUHP Nasional

Table of Contents

 

Sebuah Kajian Komprehensif tentang Landasan, Substansi, dan Tantangan Implementasi UU No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional) merupakan momentum krusial dalam sejarah hukum pidana Indonesia, menandai dekolonisasi dan modernisasi sistem hukum yang sebelumnya berlandaskan Wetboek van Strafrecht (WvS), produk kolonial Belanda. Makalah ini menyajikan analisis yuridis, sosiologis, dan filosofis terhadap substansi perubahan dalam KUHP Nasional yang substansial. Pembahasan difokuskan pada tiga pilar utama: pertama, landasan dan urgensi kodifikasi ini sebagai manifestasi kedaulatan hukum nasional; kedua, pergeseran paradigma pemidanaan yang beranjak dari pendekatan retributif menuju integrasi keadilan korektif, rehabilitatif, dan restoratif; dan ketiga, tantangan implementasi yang kompleks.

Analisis komparatif terhadap pasal-pasal krusial antara KUHP lama dan KUHP Nasional mengidentifikasi perubahan normatif yang signifikan. Makalah ini juga menelaah secara mendalam doktrin-doktrin ahli pidana serta potensi disharmoni hukum, khususnya terkait benturan antara asas lex specialis derogat legi generali dengan asas lex posterior derogat legi priori. Pada bagian akhir, kajian ini menguraikan kendala-kendala faktual yang mungkin timbul jika KUHP Nasional diterapkan tanpa diiringi pembaruan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), serta implikasinya terhadap praktik peradilan di Indonesia.

Yudha Sunarta Suir | yudhasunarta.com

Kata Kunci: KUHP Nasional, Dekolonisasi Hukum Pidana, Kodifikasi Hukum, Lex Specialis, Keadilan Restoratif, Asas Hukum, Living Law.

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sistem hukum pidana materiil Indonesia secara historis berdiri di atas pondasi KUHP lama, sebuah produk hukum warisan Hindia Belanda yang berlaku sejak tahun 1918. Meskipun telah mengalami berbagai amandemen parsial pasca-kemerdekaan, secara fundamental substansinya dinilai tidak lagi merefleksikan nilai-nilai dasar Pancasila, konstitusi negara, serta dinamika sosio-kultural masyarakat Indonesia yang majemuk. Karakteristik KUHP lama yang cenderung berorientasi pada pembalasan (retributief) dipandang sebagai anomali historis yang kontradiktif dengan semangat reformasi hukum pidana yang progresif, humanis, dan berorientasi pada reintegrasi sosial.

Upaya panjang untuk mereformasi dan mengkodifikasi hukum pidana nasional telah berlangsung selama lebih dari tujuh dekade. Proses ini mencapai puncaknya dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP Nasional). Kodifikasi ini bukan sekadar pergantian teks hukum, melainkan sebuah manifestasi dari politik hukum nasional yang bertujuan untuk menciptakan sistem hukum pidana yang koheren, berdaulat, dan adaptif terhadap tantangan kontemporer.

Kendati demikian, pemberlakuan KUHP Nasional memicu berbagai diskursus akademik dan publik, terutama terkait substansi pasal-pasal yang dianggap kontroversial, potensi disharmoni hukum, serta kesiapan infrastruktur dan sumber daya manusia penegak hukum. Oleh karena itu, diperlukan sebuah kajian komprehensif yang sistematis dan mendalam untuk menganalisis seluruh aspek KUHP Nasional, mulai dari landasan filosofisnya hingga proyeksi tantangan implementasinya.

BAB II: PEMBAHASAN TEORETIS DAN DOKTRINER KUHP NASIONAL

A. Urgensi dan Landasan Pembentukan KUHP Nasional

Kodifikasi KUHP Nasional lahir dari kebutuhan mendesak untuk menata ulang sistem hukum pidana Indonesia. Urgensi ini tidak hanya bersifat politis, melainkan memiliki dasar yuridis dan doktrinal yang kuat, yang dapat diklasifikasikan ke dalam tiga dimensi fundamental.

1. Dimensi Yuridis-Historis: Dekolonisasi dan Legitimasi Hukum

Secara historis, keberlakuan KUHP lama merupakan anomali yuridis pasca-kemerdekaan. Sebagai produk kolonial, WvS (1918) dirancang untuk mempertahankan kekuasaan penjajah, bukan untuk menegakkan keadilan dalam negara demokratis yang berdaulat. Keterpakuan pada hukum kolonial melahirkan permasalahan mendasar, seperti:

o   Ketidaksesuaian dengan Konstitusi: Banyak pasal dalam KUHP lama, seperti delik penghinaan Presiden dan Wakil Presiden, seringkali dianggap tidak sejalan dengan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945.

o  Pembaruan Sektoral yang Terfragmentasi: Karena KUHP lama tidak mampu mengakomodasi perkembangan zaman, pemerintah terpaksa membuat undang-undang pidana khusus (strafrecht buiten het wetboek) untuk tindak pidana baru seperti korupsi, terorisme, dan narkotika. Kondisi ini menciptakan fragmentasi hukum dan ketidakpastian hukum, sebuah kendala utama yang ingin diselesaikan oleh KUHP Nasional melalui kodifikasi.


2.  Dimensi Sosiologis: Kesenjangan Normatif dan Living Law

Perkembangan masyarakat telah melampaui kerangka normatif KUHP lama. Terdapat kesenjangan normatif (normative gap) di mana banyak perbuatan yang dianggap tercela atau merugikan masyarakat tidak dapat dikriminalisasi karena belum diatur dalam KUHP. Contoh paling menonjol adalah perkembangan teknologi yang memunculkan tindak pidana siber dan kejahatan ekonomi. Selain itu, KUHP lama juga tidak mengakomodasi hukum yang hidup di masyarakat (living law). Pasal 2 KUHP Nasional hadir untuk mengisi kekosongan ini dengan secara eksplisit memberikan landasan hukum bagi penerapan hukum adat, sebuah langkah revolusioner yang menunjukkan responsivitas hukum terhadap realitas sosial.<sup>2</sup>

3.  Dimensi Filosofis: Pergeseran Paradigma Pemidanaan

KUHP lama berlandaskan pada teori absolut (retributief), di mana tujuan pidana adalah pembalasan yang setimpal atas kesalahan pelaku. Paradigma ini dipandang tidak lagi relevan dengan sistem peradilan pidana modern yang berorientasi pada pencegahan dan rehabilitasi. KUHP Nasional membawa pergeseran fundamental dengan mengintegrasikan beberapa pendekatan filosofis baru:

o  Pendekatan Keadilan Korektif dan Rehabilitatif: Pidana dalam KUHP baru tidak lagi hanya berorientasi pada penderitaan, tetapi juga pada pembinaan dan pemulihan pelaku agar dapat kembali menjadi bagian fungsional dari masyarakat. Diversifikasi jenis pidana, seperti pidana kerja sosial dan pidana pengawasan, adalah wujud nyata dari pendekatan ini.

o   Pendekatan Keadilan Restoratif: Ini adalah inovasi terbesar yang menempatkan korban sebagai sentra dalam penyelesaian perkara. Daripada berfokus pada penghukuman, keadilan restoratif berupaya memulihkan kerugian, memperbaiki hubungan antara korban dan pelaku, serta memperkuat kohesi sosial. Konsep ini menjadi fondasi bagi pasal-pasal yang mendorong penyelesaian di luar pengadilan (diversi) untuk tindak pidana ringan.


Kendala utama yang dihadapi oleh hukum pidana Indonesia sebelum lahirnya KUHP Nasional adalah ketidakmampuannya untuk beradaptasi dengan perubahan sosial, teknologi, dan filosofi keadilan, serta ketidakselarasannya dengan nilai-nilai Pancasila. Oleh karena itu, kehadiran KUHP Nasional adalah keniscayaan yuridis dan sosiologis untuk menciptakan sistem hukum pidana yang komprehensif, relevan, dan berdaulat.

B. Asas-Asas Hukum Fundamental dalam KUHP Nasional

KUHP Nasional mengadopsi dan memodifikasi sejumlah asas hukum pidana yang lebih modern dan progresif, antara lain:

1.   Asas Legalitas (Nullum Crimen Sine Lege): Asas ini ditegaskan kembali, namun dengan modernisasi. Berbeda dari legalitas formal-positivistik KUHP lamaKUHP Nasional mengadopsi legalitas materiel dengan mengakui hukum yang hidup di masyarakat (living law) sebagai dasar pemidanaan (Pasal 2), sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan HAM.

2. Asas Culpabilitas (Geen Straf Zonder Schuld): Prinsip ini mengukuhkan bahwa pertanggungjawaban pidana hanya dapat dikenakan jika terdapat kesalahan pada diri pelaku, baik dalam bentuk kesengajaan (dolus) maupun kelalaian (culpa)KUHP Nasional merumuskan secara lebih jelas alasan-alasan yang menghapuskan pidana karena tidak adanya kesalahan, seperti daya paksa atau pembelaan terpaksa.

3.  Asas Proporsionalitas: Asas ini menegaskan bahwa sanksi pidana harus sebanding dengan beratnya perbuatan dan tingkat kesalahan pelaku. Proporsionalitas dalam KUHP Nasional diwujudkan melalui diversifikasi jenis pidana (misalnya, pidana denda, kerja sosial, dan pengawasan), yang memberikan fleksibilitas kepada hakim untuk menjatuhkan sanksi yang paling adil dan efektif.

4.  Asas Ultimum Remedium: Asas ini menempatkan hukum pidana sebagai upaya terakhir dalam penyelesaian masalah sosial. KUHP Nasional mendorong penyelesaian di luar jalur formal, khususnya untuk tindak pidana ringan, sejalan dengan prinsip keadilan restoratif.

5.  Asas Keadilan Restoratif: Ini merupakan inovasi doktriner terpenting. Berbeda dengan keadilan retributif yang fokus pada pembalasan, keadilan restoratif berorientasi pada pemulihan korban dan rekonsiliasi antara pelaku, korban, dan masyarakat. KUHP Nasional mengakomodasi prinsip ini untuk mendorong penyelesaian di luar pengadilan, terutama bagi tindak pidana tertentu.

6.   Asas Lex Temporis Delicti: Asas ini menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum pada saat tindak pidana dilakukan. Namun, pengecualiannya adalah asas lex favor rei, di mana jika undang-undang yang berlaku kemudian lebih ringan, maka undang-undang baru tersebut dapat diterapkan.

7.    Asas Ne Bis In Idem: Asas ini memberikan jaminan kepastian hukum bahwa seseorang tidak dapat dituntut atau diadili dua kali untuk perbuatan pidana yang sama, sebuah prinsip universal yang diakui dalam konstitusi dan instrumen HAM internasional.

BAB III: PERBANDINGAN PASAL-PASAL DAN BENTURAN HUKUM

A. Kajian Komparatif Substansi Pasal-Pasal Kunci

Perbedaan fundamental antara KUHP lama dan KUHP Nasional tercermin dalam substansi pasal-pasalnya. Tabel berikut menyajikan analisis komparatif atas pasal-pasal krusial yang menunjukkan pergeseran paradigma dalam hukum pidana Indonesia.

Pasal KUHP Nasional

Pasal KUHP Lama

Perbedaan Substansial

Sumber

Pasal 2

Tidak ada

Pengakuan Hukum yang Hidup (Living Law): Pasal ini adalah terobosan doktriner yang secara eksplisit mengakui hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai sumber hukum pidana.

UU No. 1/2023

Pasal 411

Pasal 284

Perluasan Delik Perzinaan: Delik perzinaan diperluas mencakup kohabitasi (kumpul kebo) dan bersifat delik aduan absolut, sehingga tidak dapat diproses tanpa aduan dari pihak yang dirugikan.

UU No. 1/2023

Pasal 218

Pasal 134, 136 bis, 137

Delik Penghinaan Presiden: Pasal ini kini dirumuskan sebagai delik aduan absolut, berbeda dengan delik umum di KUHP lama, untuk membatasi ruang diskresi penegak hukum.

UU No. 1/2023

Pasal 464

Pasal 348, 349

Tindak Pidana AborsiKUHP Nasional mengadopsi pendekatan progresif dengan memberikan pengecualian aborsi bagi korban perkosaan atau indikasi medis, sebuah amandemen yang humanis dan sensitif gender.

UU No. 1/2023

Pasal 99

Pasal 10

Pidana MatiKUHP Nasional mengubah status pidana mati dari pidana pokok menjadi pidana khusus atau alternatif dengan masa percobaan 10 tahun. Ini menunjukkan pergeseran paradigma dari pembalasan murni menuju penghormatan terhadap hak hidup.

UU No. 1/2023

Pasal 476

Pasal 362

Pencurian: Elemen esensial delik ini dipertahankan, dengan penyesuaian ancaman pidana dan perumusan yang lebih ringkas.

UU No. 1/2023

Pasal 492

Pasal 372

Penggelapan: Unsur-unsur penggelapan tetap sama, yaitu penguasaan secara melawan hukum terhadap barang milik orang lain.

UU No. 1/2023

Pasal 496

Pasal 378

Penipuan: Konsep penipuan tetap diatur dengan formulasi yang hampir identik.

UU No. 1/2023

Pasal 466

Pasal 351

Penganiayaan: Delik penganiayaan tetap dikriminalisasi, namun dengan redaksional dan penomoran yang baru.

UU No. 1/2023

Pasal 458

Pasal 338

Pembunuhan: Unsur pokok pembunuhan, yaitu menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja, tetap menjadi tindak pidana berat dalam KUHP Nasional.

UU No. 1/2023

Pasal 396

Pasal 263

Pemalsuan SuratKUHP Nasional mengklasifikasikan kembali delik ini, namun esensinya tetap sama, yaitu pemalsuan dokumen yang dapat menimbulkan kerugian.

UU No. 1/2023

Pasal 505

Pasal 303

Perjudian: Delik perjudian tetap diatur, dengan penyesuaian untuk mencakup bentuk-bentuk perjudian modern.

UU No. 1/2023

Pasal 433

Pasal 310

PenghinaanKUHP Nasional mempertahankan penghinaan sebagai delik pidana, namun memperjelas unsur dan sifatnya sebagai delik aduan.

UU No. 1/2023

Pasal 414

Pasal 289

Pencabulan: Mengalami pembaruan formulasi untuk memperkuat perlindungan korban, termasuk terhadap kekerasan seksual.

UU No. 1/2023

Pasal 300

Pasal 156a

Penistaan Agama: Delik ini tetap diatur, meskipun dengan penyesuaian redaksional untuk menghindari multitafsir.

UU No. 1/2023

Pasal 441

Tidak ada

Perdagangan OrangKUHP Nasional memasukkan delik ini, yang sebelumnya hanya diatur dalam undang-undang khusus, sebagai wujud konsolidasi hukum.

UU No. 1/2023

Pasal 448

Tidak ada

Tindak Pidana terhadap Anak: Mengakomodasi tindak pidana yang spesifik terhadap anak, menunjukkan komitmen perlindungan yang lebih kuat.

UU No. 1/2023

Pasal 521

Pasal 406

Perusakan Barang: Unsur-unsur perusakan barang tetap dikriminalisasi.

UU No. 1/2023

Pasal 457

Pasal 333

Perampasan Kemerdekaan: Delik perampasan kemerdekaan tetap diatur untuk menjamin hak asasi.

UU No. 1/2023

B. Kontradiksi Asas Hukum dan Penerapannya

Dalam ranah ilmu hukum, seringkali terjadi benturan antara berbagai asas hukum. Tiga asas yang paling relevan dalam konteks KUHP Nasional dan undang-undang khusus adalah asas lex specialis derogat legi generaliasas lex posterior derogat legi priori, dan asas lex superiori derogat lex inferiori.

1. Kontradiksi Teoritis dan Realitas Yuridis: Secara teoritis, KUHP Nasional yang merupakan produk hukum baru (lex posterior) dan bersifat umum (lex generalis) dapat berbenturan dengan undang-undang khusus yang bersifat lama (lex priori) tetapi khusus (lex specialis). Dalam hal ini, asas lex posterior dan lex specialis berpotensi kontradiktif. Namun, dalam doktrin hukum pidana Indonesia, konflik ini diselesaikan dengan prioritas pada asas lex specialis.

2.   Penerapan dalam PraktikAsas lex superiori tidak relevan untuk kasus ini karena KUHP Nasional dan undang-undang pidana khusus berada pada hierarki yang sama (Undang-Undang). Sedangkan, asas lex posterior tidak berlaku karena ia hanya mengesampingkan hukum yang lebih lama jika keduanya memiliki sifat yang sama (sama-sama umum atau sama-sama khusus). Karena KUHP Nasional bersifat umum dan undang-undang khusus bersifat khusus, maka asas lex specialis-lah yang memiliki prioritas mutlak.

3.    Dasar Hukum dan Argumen: Prinsip ini memiliki dasar yuridis yang kuat, yaitu Pasal 63 ayat (2) KUHP lama yang secara tegas mengaturnya. Meskipun pasal ini tidak diulang dalam KUHP NasionalPenjelasan Umum KUHP Nasional menegaskan bahwa undang-undang pidana khusus tetap berlaku. Dengan demikian, jika suatu perbuatan pidana diatur dalam undang-undang khusus (misalnya UU Pemberantasan Korupsi), maka undang-undang tersebutlah yang harus diterapkan oleh aparat penegak hukum, dan bukan KUHP Nasional.

C. Tantangan Implementasi KUHP Nasional dan Implikasinya terhadap Peradilan

Penerapan KUHP Nasional dihadapkan pada tantangan yang multidimensional.

1.  Disharmoni dengan KUHAP Lama: Salah satu kendala terbesar adalah jika KUHP Nasional yang berorientasi pada keadilan restoratif dan diversifikasi pidana (misalnya pidana kerja sosial) harus diterapkan dengan KUHAP lama yang berfokus pada pendekatan retributif. Prosedur hukum acara yang ada tidak memadai untuk mengakomodasi konsep-konsep baru ini, yang berpotensi menimbulkan kekacauan prosedural, kebingungan yudisial, dan ketidakpastian hukum.

2. Kesenjangan Pemahaman Aparat Penegak Hukum: Konsep-konsep baru seperti pertanggungjawaban pidana korporasihukum yang hidup (living law), dan keadilan restoratif membutuhkan pemahaman doktriner dan teknis yang mendalam. Tanpa pelatihan yang masif dan terstruktur, aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) akan kesulitan dalam mengimplementasikan KUHP Nasional secara efektif.

3. Resistensi dan Adaptasi Budaya: Pergeseran paradigma dari pembalasan menuju rehabilitasi membutuhkan perubahan pola pikir tidak hanya pada aparat, tetapi juga pada masyarakat. Penerapan KUHP Nasional akan mengalami benturan dengan pandangan publik yang masih kental dengan keadilan retributif, yang bisa memicu resistensi dan ketidakpercayaan.


BAB IV: PENUTUP

A. Kesimpulan

KUHP Nasional (UU No. 1 Tahun 2023) adalah sebuah langkah progresif dan strategis dalam reformasi hukum pidana Indonesia. Kelahirannya menandai kedaulatan hukum nasional dan membawa pergeseran paradigma dari hukum pidana kolonial yang berorientasi pembalasan menuju sistem yang lebih humanis, proporsional, dan berorientasi pada pemulihan. Meskipun demikian, keberhasilan implementasi KUHP Nasional akan sangat bergantung pada sinkronisasinya dengan KUHAP baru dan kesiapan seluruh elemen dalam sistem peradilan untuk mengadopsi dan menerapkan konsep-konsep hukum yang baru ini secara konsisten dan adil.

B. Rekomendasi Akademik

1.  Percepatan Legislasi KUHAP Baru: Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat perlu memprioritaskan penyelesaian RUU KUHAP agar harmonis dan dapat berlaku bersamaan dengan KUHP Nasional.

2.  Program Edukasi dan Pelatihan Yuridis: Diperlukan program edukasi dan pelatihan yang masif dan berkelanjutan bagi seluruh praktisi hukum untuk menjamin pemahaman yang seragam dan implementasi yang efektif.

3. Pembentukan Tim Kajian Implementasi: Pembentukan tim kajian yang terdiri dari akademisi dan praktisi hukum adalah esensial untuk memantau, mengevaluasi, dan memberikan masukan terhadap setiap kendala yang muncul dalam praktik peradilan.


CATATAN KAKI

1.  Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2016), hlm. 12-14.

2.    Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Jakarta, 2022), hlm. 55-58.

3.    B. Susanto, "Konsep Keadilan Restoratif dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional," Jurnal Hukum Pidana, Vol. 8, No. 2 (2021), hlm. 89-91.

4.    P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 25-27.

5. Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm. 78.

6.    Dwidja Priyatno, Sistem Pemidanaan di Indonesia (Bandung: Refika Aditama, 2011), hlm. 52-54.

7.    B. Susanto, "Konsep Keadilan Restoratif...", hlm. 92.

8.  Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana (Bandung: Alumni, 2010), hlm. 68.

9.  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 1.

10.  Dwidja Priyatno, Sistem Pemidanaan di Indonesia, hlm. 60.

11.  Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, hlm. 156.

DAFTAR PUSTAKA

Buku Referensi:

·   Arief, Barda Nawawi. 2011. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

·        Dwidja Priyatno. 2011. Sistem Pemidanaan di Indonesia. Bandung: Refika Aditama.

·    Hiariej, Eddy O.S. 2016. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka.

·         Lamintang, P.A.F. 2011. Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

·    Muladi dan Barda Nawawi Arief. 2010. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni.

Jurnal dan Naskah Ilmiah:

·      Susanto, B. "Konsep Keadilan Restoratif dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional." Jurnal Hukum Pidana, Vol. 8, No. 2 (2021).

·   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. 2022. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta.

Peraturan Perundang-Undangan:

·         Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

·         Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.

·         Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

·         Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

 


Posting Komentar