Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Memahami Restorative Justice dan Penerapanya Secara Sederhana

Restorative justice adalah metode untuk menyelesaikan sebuah kasus hukum dengan memprioritaskan kepentingan perdamaian antara pihak pelaku dan korban.
Dengan pendekatan ini, aturan hukum menjadi bersifat lebih kontekstual dan tidak melepaskan diri dari masyarakat yang terlibat. 
Memahami Restorative Justice dan Penerapanya Secara Sederhana
Memahami Restorative Justice dan Penerapanya Secara Sederhana

Pengertian Restorative Justice

Restorative justice adalah konsep hukum yang tidak secara otomatis menganggap lapas sebagai hukuman final bagi tersangka. Anggapan tersebut memang masih sangat umum di masyarakat.
Objek dari restorative justice adalah tindakan pidana yang relatif tidak berat. Jadi, masih ada celah terjadinya perdamaian antara pihak pelaku dan korban.
Di kehidupan sehari-hari, kita mungkin lebih mengenal restorative justice sebagai ‘menyelesaikan perkara secara kekeluargaan’. Hanya saja restorative justice melibatkan pihak hukum yang berwenang, bukan hanya pihak korban dan pelaku semata.
Kemudian apa perbedaan antara solusi kekeluargaan tanpa dan dengan keterlibatan pihak hukum?
Dalam restorative justice, pihak hukum berhak menimbang hukuman yang adil untuk pelaku. Dalam hal ini, jenis hukuman juga lebih beragam, bukan hanya penjara atau denda uang seperti halnya di pengadilan.
Selain itu, ada jaminan hukum untuk korban bahwa pelaku akan menjalani sanksinya dengan benar. Inilah kelebihan dari sistem restorative justice.
Pendekatan restorative justice menyelesaikan perkara hukum dengan dialog dan kesepakatan. Jadi, pihak korban maupun pelaku memiliki kesempatan yang sama untuk menyampaikan tuntutan maupun keberatan.
Melalui proses tersebut, diharapkan tujuan dari metode ini akan tercapai. Bukan hanya menciptakan keadilan bagi pihak yang dirugikan, hukum restorasi juga bertujuan mengembalikan relasi kedua belah pihak seperti semula.

Contoh Kasus Restorative Justice

Di lapangan, restorative justice adalah pendekatan yang sudah cukup populer. Bahkan sebenarnya, banyak kasus hukum di Indonesia yang bisa menggunakan metode pendekatan ini.
Namun sayangnya, masih ada beberapa kasus hukum di Indonesia yang masih menggunakan hukum tegas untuk perkara yang seharusnya bisa diselesaikan dengan restorative justice.
Salah satu contohnya ialah kasus nenek Minah yang dituduh mencuri beberapa biji buah Kakao.
Sebelum masuk ke ranah pengadilan, pihak tertuduh maupun korban sesungguhnya sudah menyelesaikan perkara tersebut dengan damai.
Namun saat itu, hukum tetap membawa kasus pencurian tersebut ke pengadilan. Dalihnya adalah penegakan hukum harus berlaku untuk keadilan sekecil apapun.
Akibatnya, nenek Minah harus merasakan dinginnya jeruji besi selama beberapa bulan.
Adapun contoh kasus restorative justice jika seandainya diterapkan pada perkara nenek Minah tersebut adalah sebagai berikut:
Pemilik pohon dan nenek Minah duduk berhadapan untuk mendapatkan titik terang atas kebenaran tuduhan tersebut. Pada kasus sesungguhnya, pemilik pohon sudah menyatakan bahwa ada kesalahpahaman dalam perkara tersebut.
Adapun jika benar nenek Minah mencuri, hukuman penjara tentu tidak mengganti apapun dari kerugian pemilik pohon. Melalui restorative justice, korban dan pelaku merundingkan ganti rugi yang tepat agar kedua belah pihak kembali seimbang.
Contohnya, nenek Minah dihukum membersihkan kebun pemilik pohon tersebut selama dua hari. Setelah itu, kedua belah pihak kembali berdamai dan masyarakat sekitar kembali menghormati nenek Minah.

Syarat Restorative Justice

Kemudian, perkara seperti apa yang bisa ditangani dengan restorative justice di Kejaksaan Republik Indonesia?
Ternyata, ada beberapa persyaratan sebuah kasus dapat diselesaikan secara restoratif.
Berikut ketentuannya:

1. Perkara Tidak Menimbulkan Keresahan

Aspek pertama ini merujuk kepada tujuan utama hukum yaitu menciptakan keamanan dan ketentraman di masyarakat. Jika sebuah perkara berpotensi menciptakan keresahan, satu-satunya cara adalah menangkap si pelaku.
Contohnya kasus terorisme. Restorative justice tidak dapat dikenakan pada kasus yang satu ini karena terlalu membahayakan keselamatan diri maupun psikis masyarakat.

2. Perkara Tidak Menimbulkan Konflik Sosial

Poin restorative justice dalam hukum pidana umumnya melibatkan dua kelompok masyarakat sehingga menimbulkan konflik sosial. Contohnya pencemaran nama baik tokoh, menyebarkan hoax, dan sejenisnya yang memiliki dampak besar.
Bentuk kejahatan jenis ini menyebabkan kerugian bagi banyak pihak. Oleh karena itu, kasus demikian harus diselesaikan dengan hukuman pidana yang tegas.

3. Restorative Justice Tidak Mendapat Penolakan dari Masyarakat

Tidak hanya melibatkan kedua belah pihak, pendekatan proses dalam restorasi juga melibatkan masyarakat sekitar. Hal ini untuk memastikan bahwa proses hukum ini akan berdampak lebih efektif bagi khalayak luas.
Contohnya, ada seorang maling ayam tertangkap sedang mencuri di rumah tetangganya.
Korban sudah mempertimbangkan untuk menyetujui perkara tersebut diselesaikan secara kekeluargaan.
Namun ternyata masyarakat sekitar menolak. Alasan mereka sebab pelaku sudah melakukan tindakan tersebut berulang kali.
Jika sudah demikian, maka mau tak mau kasus pencurian ayam tersebut masuk ke ruang pengadilan.

4. Adanya Pernyataan Tidak Keberatan dari Semua Pihak yang Terlibat

Syarat materiil selanjutnya adalah adanya pernyataan tidak keberatan atas keputusan melepaskan hak tuntut.
Pernyataan ini dinyatakan oleh seluruh pihak yang terlibat dalam perkara.

5. Memuat Surat Permohonan Restorasi antara Pelapor dan Terlapor

Syarat terakhir untuk pelaksanaan restorative justice adalah penerbitan surat permohonan perdamaian. Dibuat oleh pihak pelapor maupun terlapor.
Dalam kasus restorative justice dalam peradilan anak, surat dibuat oleh orang tua. Berlaku jika korban masih berusia di bawah 17 tahun. Jika tidak ada keluarga, maka bisa diwakilkan kepada tokoh masyarakat tempat domisili.
Khusus untuk pihak terlapor, wajib menyerahkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) pasca penyelesaian perkara. Surat ini menjadi bukti selesainya perundingan antara pihak pelapor dan terlapor atas ganti rugi.
Dalam surat ini, pihak terlapor menyatakan menerima tanggung jawab ganti rugi. Selain itu, juga pernyataan kesiapan untuk melaksanakan seluruh sanksi tersebut hingga terpenuhi seluruhnya.

Prinsip Pembatasan dalam Peraturan Jaksa Agung (PERJA) tentang Restorative Justice

Peraturan utuh terkait restorative justice tertuang dengan baik di Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan sesuai dengan amanat undang-undang kepada Mahkamah Agung sebagai lembaga peraturan tertinggi.
regulasi ini secara khusus mengatur prinsip-prinsip restorative justice. Di antaranya meliputi definisi dan prinsip restorative justice, asas hukum, syarat pemberhentian penuntutan, dan prosedur perdamaian.
Jadi, selain mempertimbangkan konteks kedua belah pihak, hukum sudah memiliki prinsip dasar sendiri untuk menentukan kategori kasus restorative justice. Adapun prinsip-prinsip khusus ini adalah:

1. Pelaku Baru Pertama Melakukan Tindak Pidana

Residivis adalah sebutan bagi mereka yang sudah memiliki record terjerat kasus yang sama. Misalnya, mantan narapidana pembunuhan yang kembali tertangkap atas tindak pembunuhan.
Residivis tidak memiliki kesempatan mendapatkan restorative justice jika tertangkap kembali. Bahkan, hukuman pidana pengadilan yang lebih berat sudah menunggu mereka.

2. Nilai Tindakan Hukum Pidana Ringan

Kejahatan pidana yang dilakukan secara sengaja cukup sulit terselesaikan dengan restorative justice. Dalam ketentuannya, sebuah kasus ini harus memiliki nilai pidana tidak lebih dari 5 tahun penjara.

3. Nilai Kerugian Kecil

Persyaratan terakhir menyangkut nilai kerugian yang dialami korban. Dalam pasal ini, tertulis bahwa nilai kerugian tidak boleh lebih dari 2.500.000. rupiah. 
Dari ulasan di atas, kita tahu bahwa alternatif restorative justice layak menjadi pertimbangan. Terutama pada kasus-kasus relatif kecil yang terjadi di masyarakat. Seperti halnya nenek Minah.
Oleh karena itu, tidak semua tindakan pidana harus berujung di balik jeruji besi. Restorative justice adalah solusi yang lebih adil dan seimbang untuk kedua belah pihak.
Keyword Restorative Justice: contoh kasus restorative justice, restorative justice di Kejaksaan Republik Indonesia, syarat restorative justice, restorative justice dalam peradilan anak, restorative justice dalam hukum pidana.

oleh : Yudha Sunarta Suir, SH., MH.

1 komentar untuk "Memahami Restorative Justice dan Penerapanya Secara Sederhana"