Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Omnibus Law? Sejarah dan Penerapannya di Indonesia?




     Isu Omnibus Law Indonesia saat ini menjadi satu topik yang tengah ramai dibahas, bahkan menjadi sebuah topik yang bisa dianggap kontroversial. Meski demikian, Omnibus Law bukanlah topik yang terbilang tabu, karena adanya sebuah aturan ini sangat bermanfaat.

Mengenal Omnibus Law

     Sebelum berbicara lebih jauh perlu kiranya untuk memahami defenisi dari Omnibus Law itu sendiri. Secara garis besar, Omnibus Law sendiri merupakan sebuah aturan baru yang dibuat dengan sengaja dan bertujuan untuk menggantikan aturan-aturan yang sebelumnya sudah ada terlebih dahulu. Dengan demikian, Omnibus Law akan mengatur banyak hal, namun dalam satu undang-undang saja. Hal ini berbeda dari aturan yang bukan omnibus, yang satu aturan hanya fokus pada satu hal saja.

     Penyusunan Omnibus Law Indonesia berarti pembentukan satu regulasi baru yang sekaligus menjadi pengganti lebih dari satu aturan lain yang telah berlaku. Konsep ini bisa jadi sekadar mengganti beberapa pasal yang terkandung di dalam satu aturan, dan pada waktu bersamaan mencabut semua isi aturan lainnya. Berdasarkan penjelasan dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jimmy Zefarius Usfunan, konsep ini tak lebih dari hanya sebuah metode untuk menyusun sebuah undang-undang.

     Apabila Omnibus Law dibuat, aturan ini akan menjadi satu-satunya rujukan dan mengalahkan undang-undangan yang sebelumnya sudah ada. Hal yang sama juga berlaku dalam Omnibus Law Indonesia. Dan di Indonesia sendiri, banyak orang yang menjuluki aturan ini sebagai UU Sapu Jagad karena keberadaannya dapat “menyapu jagad raya”, alias undang-undang, yang sudah ada terlebih dahulu sebelumnya.

     Omnibus law adalah salah satu istilah yang ramai diperbincangkan selepas pelantikan Joko Widodo atau Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia periode 2019-2024. Secara garis besar, Mmnibus Law adalah penyederhanaan regulasi yang pembentukan RUU-nya masuk ke program unggulan pemerintahan Jokowi-Ma’ruf. Mereka berharap penegakan omnibus law dapat menunjang tingkat pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

     Sejumlah kalangan mendukung omnibus law dengan alasan strategi reformasi regulasi untuk mengatasi hiper regulasi. Namun, ada juga yang masih mempertanyakannya dan mengkritiknya. Lantas, apa pandangan omnibus law dari para ahli dan bagaimana sejarah yang melatarbelakangi istilah tersebut?

Sejarah Singkat Omnibus Law


     Merunut dari catatan sejarah, praktik omnibus law kali pertama dilaksanakan pada 1888 di Amerika Serikat sebagai hasil perjanjian privat yang berkaitan dengan pemisahan dua rel kereta api. Pada saat itu, istilah yang digunakan masih omnibus bill. Namun, tidak sampai 1967 omnibus law menjadi istilah populer. Adalah Pierre Trudeau, Menteri Hukum Amerika Serikat pada saat itu, yang dinilai berjasa karena mengenalkannya ke dalam Criminal Law Amandement Bill.

     Dosen Fakultas Hukum dari Universitas Tarumanegara Ahmad Redi mengatakan omnibus law sebenarnya bukan sesuatu yang baru di Indonesia. Substansinya sudah pernah diaplikasikan dalam legislasi, salah satunya Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 tahun 2017 tentang Akses Informasi untuk Kepentingan Perpajakan (Perppu AEoI) dan UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah atau UU Pemda.

      Perpu AEoI membatalkan sejumlah pasal dalam beberapa UU, antara lain:

  • Pasal 35 ayat (2) dan 35A UU 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (mencakup perubahan);
  • Pasal 40 dan 41 UU 7/1992 tentang Perbankan (mencakup perubahan);
  • Pasal 47 UU 8/1995 tentang Pasar Modal;
  • Pasal 17, 27, dan 55 UU 32/1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi (mencakup perubahan);
  • Pasal 41 dan 42 UU 21/2008 tentang Perbankan Syariah.

     Sejumlah perubahan pun dilakukan pada UU Pemda, termasuk pada Pasal 409 yang mencabut pasal-pasal dalam UU dan membatalkan beberapa UU secara utuh. Salah duanya adalah UU 5/1962 tentang Perusahaan Daerah dan UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (mencakup perubahan). sementara UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta UU 17/2017 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) adalah UU yang beberapa pasalnya dicabut.

     Sayangnya, ada asas dalam sistem perundang-undangan Indonesia yang berpotensi mengurangi ‘kesaktian’ omnibus law, yakni lex posterior derogat lagi priori. Selain itu, harmonisasi harus diterapkan ekstra hati-hati, baik pada UU yang hendak dicabut memakai omnibus law maupun RUU yang sedang dibahas.

Pandangan Omnibus Law Menurut Para Pakar Hukum di Indonesia

     Walau masih diperdebatkan, penerapan omnibus law diharapkan dapat mengoreksi regulasi yang dianggap bermasalah. Pendekatannya pun dapat dijadikan sebagai solusi regulasi di Indonesia yang masih semrawut dan berliku. Namun, harus diakui perancangan omnibus law memakan biaya mahal dan kompleks mengingat substansinya terbilang multisektor.

Untuk memahami omnibus law, berikut pandangan para pakar terhadap penerapannya di Indonesia.

1.  Prof. Maria Farida Indrati
Prof. Maria Faria Indrati adalah salah satu pakar yang keberatan dengan pembentukan RUU omnibus law. Dia mengatakan omnibus law lebih lazim dijumpai di negara-negara yang mengusung sistem common law. Namun, saat diterapkan di Indonesia hanya akan memicu masalah baru, terutama ketidakpastian hukum yang menyulitkan berbagai pihak. Mantan hakim ini pun menambahkan bila menyisir UU adalah langkah yang sulit, apalagi kalau aturannya diambil sepotong-sepotong.

2. Prof. Jimly Asshidiqie
Jimly menyarankan agar penyusunan omnibus law sebaiknya diarahkan secara luas, terpadu, dan menyeluruh, sehingga sistem hukum dan perundang-undangan tetap mengikuti Pancasila serta UUD 1945. Sebagai contoh, RUU Pemindahan Ibukota Negara dari Jakarta ke Penajam Paser di Kaltim. Mantan Ketua MK tersebut mengatakan UU yang nanti diaplikasikan cukup banyak, sehingga perlu ada audit dan pertimbangan matang terkait ibukota negara.

3. Refly Harun
Lain cerita dengan Refly Harun yang meminta pemerintah membentuk tim berisi para ahli untuk mempercepat pembentukan RUU omnibus law. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan investasi sekaligus memudahkan usaha. Refly memprediksi setidaknya ada lima kluster yang akan diurus, antara lain perizinan, sanksi, penataan kewenangan, pembinaan dan pengawasan, beserta dukungan. Pemetaan diharapkan membantu para ahli mengurai dan menyusun RUU.

4. Prof. Hariadi Kartodiharjo
Prof. Hariadi Kartodiharjo selaku Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB menganggap pencabutan atau penghapusan sejumlah pasal untuk mengatasi lambatnya investasi yang masuk ke Indonesia sebagai tindakan yang kurang tepat. Omnibus law tersebut dinilai luput mencermati masalah-masalah birokrasi dan kelembagaan. Selain itu, omnibus law juga bukan solusi yang bisa diterapkan dalam mengatasi kendala pemakaian lahan dan hutan yang tumpang tindih.
5. Sudarsono Soedomo
Dosen Fakultas Kehutanan IPB Sudarsono Soedomo mengingatkan pemerintah dan DPR untuk memegang Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 saat akan membentuk regulasi yang membahas sumber daya alam. Menurutnya, Indonesia punya keunggulan dalam melaksanakan reforma agraria, sebab sebagian besar tanah berada di bawah kekuasaan pemerintah. Sudarsono berujar bahwa negara mana pun tak akan sukses melakukan pembangunan sebelum menuntaskan masalah agraria.
Penerapan Omnibus Law untuk Pertama Kalinya

     Penerapan Omnibus Law untuk pertama kalinya di dunia adalah pada tahun 1888 di Amerika Serikat dan mengatur tentang railway, atau perkereta apian. Data tersebut dikutip dari The Library of Parliament and the House of commons Procedure and Practice Handbook. Pada saat itu, Omnibus Law – yang disebut sebagai Omnibus Bill – disusun sebagai dampak dari perjanjian privat mengenai pemisahan dua rel kereta api.

     Lebih dari 50 tahun berselang, metode ini jadi makin populer, tepatnya di tahun 1967 ketika Pierre Trudeau sebagai Menteri Hukum AS memperkenalkan undang-undang Criminal Law Amandement Bill. Dalam UU tersebut, isi UU hukum pidana diubah, serta beragam isu juga dibahas.

    Lebih jauh lagi, Redi menyebutkan bahwa setidaknya ada sembilan negara yang telah menjalankan metode Omnibus Law di dalam sejarah: Inggris, Jerman, Australia, Turki, Singapura, Malaysia, Filipina, Vietnam, dan Kamboja. Dari negara-negara tersebut, nampak jelas bahwa mayoritas merupakan negara Asia Tenggara, yang merupakan negara tetangga Indonesia.

Penerapan Omnibus Law di Indonesia

     Konsep Omnibus Law di Indonesia dilontarkan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Sofyan Djalil, sebelum akhirnya tersiar kembali lantaran kehadiran RUU Perpajakan dan RUU Cipta Lapangan Kerja. Pasalnya, kedua RUU tersebut ramai dibicarakan sebagai Omnibus Law.

     Sofyan mencetuskan pernyataan tersebut karena adanya tumpang-tindih regulasi, terutama soal investasi. Sebagai contoh, Sofyan menunjukkan bahwa ketika masuk usulan perbaikan regulasi di sector kehutanan, maka revisi perlu dilakukan pada UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Pada saat yang bersamaan, muncul “sandungan” di dalam beleid lain, seperti UU No. 31 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

     Selama ini, penerapan Omnibus Law sudah lebih familiar diterapkan di negara-negara yang menganut sistem common law dalam penyusunan regulasi, alias Omnibus Law. Sementara itu, Indonesia sendiri menganut sistem civil law. Lantas, wajar jika muncul pertanyaan bagaimana Omnibus Law Indonesia dapat diterapkan.

     Omnibus Law di Indonesia sebenarnya bisa diterapkan oleh pemerintah RI, terutama dalam mengatasi dua isu. Pertama adalah isu kriminalisasi pejabat negara, yang selama ini konon takut menggunakan diskresi kala mengambil kebijakan soal penggunaan anggaran. Pasalnya, apabila terbukti merugi, pejabat terkait dapat dijerat dengan UU Tipikor. Artinya, ada konflik antara UU Tipikor dengan UU Administrasi Pemerintah.



     Pasalnya, UU Tipikor tidak memiliki elemen yang menunjukkan adanya mens rea atau niat jahat. Karenanya, aparat penegak hukum sering kali memandang dari sudut pandang positivis hanya untuk perbuatan, apabila perbuatan tersebut dilakukan dan terdapat kerugian negara di sana. Sementara itu, diskresi diperbolehkan di dalam UU Administrasi Pemerintah.

     Untuk mengatasinya, pemerintah bisa saja membuat UU baru dengan menerapkan konsep Omnibus Law. Terkait dengan contoh di atas, adanya Omnibus Law Indonesia dapat dilakukan terutama untuk membuat UU baru yang mampu secara tegas memisahkan mens rea dari diskresi. Dengan demikian, secara tak langsung Omnibus Law juga dapat menjadi pelindung bagi aparat pejabat daerah yang ingin menerapkan kreasi dan inovasi demi kemajuan investasi dan ekonomi.

     Hanya saja, mengingat bahwa apabila UU baru sudah dibentuk guna mengharmoniskan dua aturan atau lebih yang sudah ada, jangan sampai UU baru tersebut malah disalahgunakan. Misalnya untuk melindungi koruptor, atau tujuan-tujuan lain yang tidak sejalan dengan semangat UU yang “dirukunkan” tersebut. Contohnya semangat untuk memberantas korupsi di dalam UU Tipikor.

    Isu kedua adalah penerapan Omnibus Law Indonesia guna menyeragamkan kebijakan pusat dan daerah demi menunjang iklim investasi. Terkait dengan hal ini, bahwa Omnibus Law dapat menjadi cara singkat sebagai sebuah solusi peraturan perundang-undangan yang berbenturan, baik itu secara horizontal maupun vertikal.

     Meski demikian, persoalan yang kelak muncul adalah perihal kedudukan UU yang dibuat dengan konsep Omnibus Law ini. Berdasarkan teori dalam perundang-undangan di Indonesia, kedudukan UU buah Omnibus Law masih belum diatur. Dan apabila dilihat dari sistem perundang-undangan di Indonesia, UU hasil Omnibus Law dapat mengarah menjadi UU Payung lantaran bisa mengatur secara menyeluruh, serta memiliki kekuatan terhadap aturan lainnya. Hanya saja, Indonesia sendiri tidak menganut UU Payung karena seluruh UU memiliki posisi yang sama.

     Terakhir, meskipun penerapan Omnibus Law Indonesia mungkin terjadi, jangan sampai konsep ini malah menimbulkan persoalan terkait penghormatan terhadap otonomi daerah. Sebab, dengan adanya Omnibus Law, peraturan di tingkat daerah nantinya juga wajib mematuhi aturan baru berdasarkan konsep Omnibus Law secara otomatis.

     Dalam hal ini, pemerintah Indonesia diminta teliti dalam melakukan penelusuran mendalam terkait Omnibus Law di Indonesia. Jumlah pasal dalam sebuah UU yang memakai omnibus law adalah sesuatu yang tak terhindarkan. Hal ini tak terlepas dari sifatnya yang mandiri, sehingga aplikasi yang tepat akan membantu penguraian masalah perundang-undangan.

Yudha Sunarta Suir, SH.
Pascasarjana Hukum
Universitas Andalas

2 komentar untuk "Omnibus Law? Sejarah dan Penerapannya di Indonesia?"

  1. Tulisannya mengilhami saya bro tentang omnibus law. terus buat konten yang bermanfaat ya bro sukses selalu

    BalasHapus
    Balasan
    1. terimakasih.. semoga sukses selalu pula untukmu. Amin yra

      Hapus